Salahkah Mencintai Diri Sendiri ?

Mencintai Diri Sendiri

Mencintai diri sendiri artinya menerima kekurangan diri, mensyukuri kelebihan diri, serta memiliki dorongan untuk bertumbuh.

Jadi seberapa besar cinta ke diri sendiri bisa diukur dari seberapa menerima terhadap kekurangan diri.

Kekurangan ini bisa berarti persepsi gagal atau buruk terhadap pengalaman yang pernah dialami. Bisa juga kondisi fisik dan non fisik meliputi kecerdasan, wawasan, dan keterampilan.

Ada orang yang terbebani dengan kegagalannya di masa lalu, tinggi badannya yang dianggap dibawah rata-rata, kecerdasannya dan wawasan yang dianggap tidak mumpuni, bahkan keahlian dianggap tak bisa apa-apa.

Merasa terbebani adalah indikasi tidak mencintai diri sendiri. Termasuk merasa biasa dengan kelebihan diri sendiri, tidak merasa istimewa, sehingga tidak bersyukur.

Atau merasa cukup dengan keadaan sekarang, tidak tertarik untuk menambah pengetahuan, wawasan, serta keterampilan sehingga tidak ada dorongan untuk bertumbuh, pun indikasi tidak menerima diri sendiri.

Sebab pada hakikatnya dunia ini berubah sehingga butuh beradaptasi dan adaptasi menuntut kita untuk bertumbuh. Atas dasar mencintai diri sendiri, kita memilih eksis di setiap perubahan itu, memilih beradaptasi dan karenanya terus bertumbuh.

Apa akibatnya bila tidak atau kurang mencintai diri sendiri?

Tidak menerima kekurangan tak sadar terus menerus memikirkan kekurangan itu sehingga pikiran “terbelenggu” pada persepsi “karena aku memiliki banyak kekurangan, maka….” alias merasa wajar hidup bermasalah.

Meskipun memiliki banyak kelebihan atau potensi, tapi terabaikan, tak disadari sehingga potensi itu terkubur dengan baik bahkan “berkarat” karena tak dilatih.

Malas untuk bertumbuh, merasa layak hidup di level itu, merasa akan kalah oleh kompetisi, membuat hidup tak berkembang. Ada masanya tersingkir dari kehidupan ditandai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.

Jadi apa yang kita sebut sebagai realita adalah cermin dari dalam diri sendiri. Seberapa cinta terhadap diri sendiri?

Lucunya kita menuntut anak-anak untuk berhasil dalam intelektual, wawasan, dan keterampilan tapi lalai mengajarkan mereka untuk memerima kekurangan diri.

Bahkan terlalu menuntut membuat anak-anak kita ikut menuntut dirinya sendiri, merasa terpuruk manakala tak sesuai harapan.

Tak sadar justru mencetak mereka untuk tidak mencintai diri sendiri. Menyiapkan mereka untuk gagal dalam kehidupannya kelak.

Pertanyaannya, kenapa kita sebagai orang tua menuntut anak berprestasi?

Sebab tak sadar sebagian kita tidak menerima diri sendiri, merasa kelemahan diri jadi masalah dan karenanya memuntut anak “sempurna”.

Akhirnya jadi siklus berulang.

Wallahu’alam
Ahmad Sofyan Hadi
Penulis Buku Reset Hati Instal Pikiran